PUASA, BAROMETER IMAN DAN KEMUNAFIKAN

Puasa Ramadhan adalah suatu amalan ibadah yang dilakukan dengan menahan diri dari segala sesuatu seperti makan, minum, perbuatan buruk maupun dari yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari yang disertai dengan niat karena Allah ta’ala, dengan rukun dan syarat tertentu. Ibadah puasa sebagai rukun Islam keempat dari lima rukun Islam, merupakan kewajiban bagi umat Islam yang dikerjakan dengan dasar iman dan penuh keikhlasan serta kerahasiaan

Baginda Rasul bersabda:

“Semua amalan bani Adam itu adalah untuknya kecuali ibadah puasa. Ibadah puasa itu  untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya”.(Muttafaqun 'Alaih) 

Ibadah puasa diistimewakan oleh Allah ta’ala, karena seseorang yang sedang mengerjakannya sesuai niat yang ada di dalam hati dan penuh kerahasiaan. Karena kerahasiaan inilah, maka ibadah puasa menjadi barometer bagi tingkat keimanan dan kemunafikan seseorang.

Barometer dalam ilmu fisika adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengukur tekanan udara. Barometer biasanya digunakan dalam peramalan cuaca, di mana tekanan udara yang tinggi menandakan cuaca yang bersahabat, sedangkan tekanan udara rendah menandakan kemungkinan badai.

Kadar keimanan dan kemunafikan seseorang juga akan terlihat jelas dalam ibadah puasa ini. Ketika seseorang yang mengaku muslim melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, maka ia telah menunjukkan kadar keimanannya yang tinggi, sedangkan orang-orang yang mengaku muslim dan tidak melaksanakan ibadah puasa maka menunjukkan kadar iman yang rendah dan sedang menuju ke potensi kemunafikan. Makanya tak heran bila kita sebutkan puasa sebagai barometer iman dan kemunafikan seseorang.

Barometer Orang Beriman Ketika Menerima Perintah Puasa

Imam Syafi’i sebagai tokoh multi keilmuan di bidang keislaman yang menguasai sastra, tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh dan lainnya. Bahkan untuk bidang keilmuan yang disebut terakhir, ia dipandang sebagai peletak dan  penyusun bidang kajian ushul. Namun di atas segalanya, ia adalah pendiri mazhab al-Syafi’i yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat muslim di dunia termasuk di Indonesia. Di antara karyanya yang fenomenal di bidang fiqih adalah kitab al-Umm. Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i berkata: “ Telah terjadi ijma’ di kalangan para sahabat, tabi’in, dan sesudah mereka dari yang kami dapatkan bahwasanya iman adalah perkataan, amal, dan niat. Tidaklah cukup salah satu saja tanpa keseluruhan”.

Baca Juga: Iman dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Sedangkan perkataan iman yang berarti 'membenarkan' disebutkan dalam al-Quran, di antaranya dalam Surah At-Taubah ayat 62: 

"Dia (Muhammad) itu membenarkan (mempercayai) kepada Allah dan membenarkan kepada para orang yang beriman".(At-Taubah:62)

Hubungan antara Puasa Ramadhan dan orang beriman tercermin dalam surat al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(QS. Al-Baqarah:183)

Ayat ini memerintahkan manusia yang beriman kepada Allah ta’ala dan hari akhir untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Sehingga ayat di atas diawali dengan kalimat ‘Hai orang-orang  yang beriman’.

Di surat yang lain, dalam Qur’an surat al-Anfal ayat 2, Allah menegaskan ciri-ciri orang beriman sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang bila disebut nama Allah maka gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”(Al-Anfal:2)

Jadi jelaslah, perintah puasa dari Allah ta’ala akan menggetarkan hati orang-orang yang beriman sehingga bersegeralah mereka tuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh serta menambah keimanan mereka, sehingga menaikkan peringkat mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa.

Barometer Kemunafikan Ketika Menerima Perintah Puasa

Sebaliknya, orang-orang yang mengaku Islam dan mampu tetapi enggan dan berkilah agar tidak berpuasa, sebenarnya mereka sedang menjatuhkan diri mereka ke jurang (potensi) kemunafikan. Dan apabila ditanya kepada orang yang tidak berpuasa,”Apakah kamu sedang berpuasa?”. Jawab mereka,”Ya”. Padahal mereka sedang menipu diri mereka sendiri.

Begitulah, orang-orang yang sedang menuju ke jurang (potensi) kemunafikan akan selalu menolak perintah Allah ta’ala dan mencari-cari keuzuran, padahal dia mampu. Sekali mereka berbohong, maka selanjutnya mereka akan mempersiapkan kebohongan yang lain guna menutupi kebohongan di awal.

Kemunafikan itu sendiri dalam bahasa Arab disebut nifaq, sering diartikan dengan ‘pengakuan dengan lidah dan pengingkaran dengan hati’. 

Baca Juga: Golongan Munafik Lebih Berbahaya dari Musuh, Kenali Sifat dan Karakter Mereka!

Allah ta’ala berfirman dalam surat At-Taubah tentang ciri-ciri kemunafikan sebagai berikut:

“Dan apabila diturunkan suatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu),"Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya", niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: "Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk".(At-Taubah:86)

Ketika telah dibacakan kepadanya perintah puasa dari Allah, maka ia akan mencari celah supaya tidak berpuasa. Semua alasan akan dikemukakannya, yang penting hawa nafsunya terlampiaskan. Makan, minum, bersetubuh di siang hari dan semua perbuatan maksiat lainnya bebas dilakukannya.

Orang-orang yang melaksanakan puasa juga tidak luput dari dosa pula, ketika ia menghalalkan atau menganggap lumrah orang yang tidak berpuasa dan tidak mengingatkan prilaku abnormal dari orang-orang yang tidak berpuasa tersebut, dengan alasan menghormati. Padahal, yang sepatutnya dihormati adalah orang yang berpuasa!!! Bukan sebaliknya.

Jadi, seyogyanya orang yang berpuasa itu menegur atau membenci perilaku orang-orang yang tidak berpuasa tersebut. Sebagaimana Baginda Rasul bersabda:

"Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah membenci dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman."(Hadits Riwayat Muslim)

PENUTUP

Hai orang-orang beriman! inilah 4 (empat) ayat al-Qur’an tentang Puasa dalam al-Qur’an yang akan menggetarkan hatimu, jika kamu memang beriman kepada Allah ta’ala.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(QS. Al-Baqarah:183)

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberikan makan bagi seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.(QS. Al-Baqarah:184)

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.(QS. Al-Baqarah:185)

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”.(QS. Al-Baqarah:187)

REFERENSI

https://tafsirq.com/

https://id.wikipedia.org/wiki/Barometer

https://id.wikipedia.org/wiki/Iman

PENULIS

ABU HAYAT AL-FATAH


Komentar